Kamis, 02 April 2009



PERBEDAAN INDIKATOR KEMISKINAN DARI BEBERAPA LEMBAGA

Disusun Oleh :
Muhammad Taufik Azhari
D1d006009
Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
Universitas Bengkulu


Data Biro Pusat Statistik BPS menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia kurang dari 40 juta jiwa, sementara Bank Dunia menyatakan penduduk miskin kita lebih dari 90 juta jiwa. Bila kita lihat dari hasil data tersebut terdapat perbedaan sangat jauh antara keduanya. Sesungguhnya perbedaan itu sangat ditentukan oleh indikator yang digunakan masing-masing lembaga tersebut. Maka, tidak heran ketika BPS mengeluarkan data kemiskinan berbeda hasilnya dengan dengan hasil survey misalnya BKKBN, WB, dan lembaga lain. Maka dalam paper ini kita akan melihat beberapa perbedaan indikator itu, yaitu indikator dari World bank, BKKBN, BPS dan criteria menurut ahli ekonomi.
1. BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran untuk 52 macam komoditas pangan dan nonpangan (27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa). Menurut BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2.100 kalori per hari.
Kriteria Gakin menurut BPS:
menggunakan pendekatan basic needs, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Batas kecukupan pangan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2100 kalori perkapita perhari. Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dll.
Menurut BPS (2006), garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp175.324 per kapita per bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp131.256 per kapita per bulan. Dengan uang senilai tersebut seseorang diasumsikan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lain seperti sandang,kesehatan,pendidikan, transportasi.
2. BKKBN sejak beberapa tahun lalu menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan yang lebih operasional yakni dengan membagi keluarga dalam kategori: Prasejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus]. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila:
a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya.
b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari.
c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.



Kriteria Gakin menurut BKKBN :
keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kerniskinan alasan ekonomi.
a. Enam indikator penentu kemiskinan tersebut adalah: Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih
b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/ sekolah dan bepergian
c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah
d. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor
e. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru
f. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni

Dari indikator-indikator tersebut dapat digambarkan ciri-ciri keluarga misin menurut BKKBN adalah :
• pada umumnya anggota keluarga makan kurang dari dua kali/lebih sehari
• anggota keluarga tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah atau bepergian
• rumah yang ditempati keluarga tidak mempunyai atap, lantai dan dinding yang baik (layak huni),
• bila pasangan suami isteri ingin ber KB tidak pergi ke sarana pelayanan kesehatan,
• tidak semua anak dalam keluarga yang berumur 7 – 15 th bersekolah.

3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari. Poverty line menurut Bank Dunia mensyaratkan penghasilan minimal Rp540.000 per orang per bulan. Bank Dunia pada 2007 menggunakan ukuran US$ 2 -PPP (purchasing power parity )/kapita/hari

4. Menurut laporan PBB, terdapat 12 komponen kebutuhan dasar, yaitu (1) kesehatan; (2) makanan dan gizi; (3) pendidikan; (4) kondisi pekerjaan; (5) situasi kesempatan kerja; (6) konsumsi dan tabungan; (7) pengangkutan; (8) perumahan; (9) sandang; (10) rekreasi dan hiburan; (11) jaminan sosial; serta (12) kebebasan Kriteria rumah tangga miskin yang ditetapkan BPS didasarkan pada besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan minimum pangan dan nonpangan per kapita per bulan.

5. Menurut Gunawan Sumodiningrat, masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan /ketidakmampuan (powerlessnesss) dalam hal:
1. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation).
2. Melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness).
3. Menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi (inacceribility).
4. Menentukan nasibnya diri sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskrminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability); dan
5. Membebaskan diri dari mental budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).

6. Prof Sajogyo telah menetapkan garis kemiskinan beberapa dekade yang lalu dengan mendasarkan kriterianya pada kebutuhan kalori dan protein untuk orang Indonesia yang besarnya 1.900 kalori dan 40 g protein per kapita/hari. Rumah tangga miskin adalah rumah tangga dengan pengeluaran setara beras kurang dari 320 kg per kapita/tahun.

Akhirnya sangat jelas, Pengertian kemiskinan ada bermcam-macam, namun dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan terpadu harus ada kesepakatan pemahaman semua pihak penyelenggara agar targeting yang dilaksanakan tepat sasaran baik target penduduk miskin maupun program yang dilaksanakan. Untuk itu diperlukan ketajaman analisa untuk memilih indicator yang digunakan tentunya indicator yang secara jelas dapat diukur dan lepas dari muatan politis.




Referensi :
Dicksan, 2008. “Ukuran Kemiskinan”. www.depsosRI.com
Khomsan Ali, 2006, “Yang Disebut Orang Miskin”. Koran Kompas. Edisi 25 agustus 2006. www.korankompas.com
Khomsan Ali, 2008. “Menggugat Ukuran Kemiskinan”. www.seputar-indonesia.com
Warou Web, 2008. “Kriteria Miskin BPS diprotes”. www.sinarharapan.com

GOOG GOVERNANCE

GOOD GOVERNANCE DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG: “APAKAH MEMILIKI MUATAN KEPENTINGAN NEGARA MAJU (NEGARA BARAT KAPITALIS)?”

Ditulis Oleh:
MUHAMMAD TAUFIK AZHARI
NPM : D1D006009
FISIP UNIB

Selama ini, konsep Good Governance sangat popular di dalam jajaran birokrasi. Hampir di setiap pembahasan mengenai Good Governance mengungkap keunggulan dari prinsip konsep tersebut. Akan hal itu, Konsep Good governance menjadi pijakan dari hampir setiap instansi demi mewujudkan pemerintahan yang baik dalam tataran reformasi birokrasi dan akhirnya tercapai pemerintahan yang bersih (clean governance). Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah realitasnya demikian?
Dalam mata kuliah Analisis Kebijakan Publik yang sedang saya jalani saat ini, sebuah pertanyaan dari Drs. Achmad Aminnduin,M.Si (dosen pengampu mata kuliah tersebut) telah membuka keinginan tahu saya terhadap konsep Good Governance. Apakah konsep itu benar-benar positif bagi bangsa ini, ataukah mempunyai muatan politik ekonomi dari Negara barat (liberalis kapitalis)? Maka yang menjadi locus tulisan ini adalah jawaban dari pertanyaan tersebut.
Sebelum lebih jauh pembahasan kita mengenai itu, ada baiknya jika mengetahui terlebih dahulu asal muasal konsep Good Governance itu sendiri. Governance merupakan sebuah ideologi yang di dalamnya berbicara tentang relasi di antara State, Civil Society dan Sector Swasta dalam menjalankan roda pemerintahan suatu negara sehingga akan menghasilkan pemerintahan yang baik (good governance). Konsep ini pada dasarnya dimulai ketika Presiden Reagan dan Margaret Tatcher melakukan penyesuaiaan struktural berupa deregulasi, debirokratisasi, privatisasi dan palayanan publik yang berorientasi pasar sebagai langkah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan krisis ekonomi dan financial dunia. Tatcher sendiri mengambil langkah berani ketika membuka pasar dengan melibatkan pihak swasta untuk ambil bagian dalam pengelolaan fasilitas-fasilitas publik, seperti; memberikan pengelolaan penjara dan kereta api kepada pihak swasta, langkah ini diambil sekaligus sebagai sebuah jawaban terhadap ketidakmampuan negara dalam melaksanakan Walfare State dimana negara menjadi aktor tunggal dalam memenuhi kebutuhan warganya. Langkah inipun bersifat domestik yakni hanya memfokuskan pada masalah yang dihadapi oleh inggris dibawah Pemerintahan Tatcher pada masa itu.
Pada tahun 1989 momentum politisasi konsep Governance ini dilakukan oleh World Bank, kelahiran konsep ini adalah merupakan jawaban terhadap kegagalan pemerintah yang terlalu dominan dalam pengaturan dan pelaksanaan roda kehidupan negara, terlebih lagi ketika ini merupakan refleksi terhadap kegagalan pemerintahan di afrika terutama di sub-sahara dalam menjalankan pemerintahannya.
Maka, bila kita tinjau awal perkembangan konsep tersebut di atas, sesungguhnya good governance sangat memiliki kaitan dengan konsep globalisasi. GLOBALISASI adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan dalam hubungan antarnegara. Globalisasi multisektor sebagai dua sisi mata uang yang menghadirkan kebaikan dan kerugian. Banyak konsep diciptakan negara maju baik di bidang ekonomi, politik, demokrasi, perlindungan HAM, pengelolaan Iingkungan hidup sampai konsep good governance,bertujuan menciptakan demokratisasi, kelestarian lingkungan, perlindungan HAM, maupun terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Realitasnya antara konsep dan implementasinya sering terjadi kesenjangan.Negara maju yang menguasai teknologi dan akumulasi kapital justru sering memberlakukan standar ganda, berlaku unfair dan menggunakan isu tersebut (globalisasi) untuk menekan dan memperlemah daya saing negara berkembang. Tujuannya menguasai dan menciptakan ketergantungan. Konsep perdagangan bebas (free trade) misalnya, dengan jiwanya yang liberal ibarat mempertemukan dalam suatu pertarungan antara gajah dengan kambing.
Kembali lagi pada pembahasan saya mengenai Good Governance. Konsep itu sering dimaknai sebagai pengelolaan atau pengarahan yang baik. Sebenarnya merupakan perangkat untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang solit, bertanggung jawab, efektif dan efisien, dengan menjaga keserasian interaksi yang konstruktif di antara domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Realitasnya negara maju menggunakan konsep tersebut tidak lebih sebagai alat ekonomi, untuk melapangkan kendala investasi dan memperlemah daya saing negara berkembang. Diciptakannya standar penilaian tingkat daya saing produk suatu negara berkaitan penilaian terhadap kinerja good governance khususnya berkaitan dengan good corporate governance (good governance untuk sektor bisnis).
Good governance yang diartikan sebagai kepengelolaan dan kepengurusan yang baik, merupakan istilah yang sangat populer, menjadi isu sentral penyelenggaraan negara dalam sekala global.
Konsep itu muncul dari upaya untuk menciptakan standarisasi pengeloalan dan kepengurusan pemerintahan yang baik, dikaitkan dengan tingkat kompetitif bidang ekonomi. Karakteristik yang dimiliki adalah
1. setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasasiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk HAM.
3. transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses- proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. lembaga dan proses-proses harus dapat melayani stakeholders.
5. good governance menjadi pranata kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur.
6. laki-laki maupun perempuan berkesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. poses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders.
9. para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada empat ukuran pokok yaitu akuntabilitas, transparansi, fairness (keadilan) dan responsivitas (ketanggapan). Jika good governance dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi manajemen dan sistem operasi prosedur. Kesamaannya adalah ketiganya sama sebagai strategi, cara atau metode berkenaan dengan pencapain tujuan bersama (bukan orang-seorang).
Realitasnya negara-negara maju mengusung konsep ini terutama di negara berkembang, dengan satu tujuan utama bukan untuk membuat mekanisme administrasi dan birokrasi negara menjadi "bersih" dan "demokratis", akan tetapi lebih pada kepentingan utamanya yaitu menghilangkan hambatan dari investasi kaum kapitalis. “Tanpa disadari oleh para aktivis ornop, kata kunci good governance itu tidak berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari paradigma neo-liberalisme, yang sedang dikampanyekan oleh IMF dan Bank Dunia.”(Tandjung;dalam ‘Memaknai “Demokrasi” ala Good Governance dan paham Neo-liberal dalam Governance’;http://tanjungs.blogspot.com/2008)
Lembaga-lembaga dana (donor); baik yang bersifat lembaga non-pemerintah, pemerintah atau kombinasi keduanya, banyak menyokong gerakan antikorupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan dan bertanggungjawab dengan kata kuncinya gerakan tersebut ingin mewujudkan good governance. Kita boleh mengacungi jempol tentang kepeduliannya untuk membantu suatu negara menciptakan good governance, Yang harus diwaspadai adalah agenda- agenda terselubung dan landasan pemikiran aktivitas lembaga donor tersebut. Kalau diktiritisi akativitas mereka tidak lebih sebagai hanya menjalankan agenda kaum kapitalis. Secara tegas George Junus Aditjandra menuduh bahkan tidak mempercayai aktivitas negara-negara donor dalam mengusung konsep tersebut tidak diikuti oleh kepentingan ekonomi. la menengarai bukan kegiatan yang berdiri sendiri dan murni untuk membuat suatu negra lebih demokratis dalam pelaksanaan birokrasi administrasinya, akan tetapi kesemuanya itu tidak lebih sebagai manifestasi dari paradigma neo-liberalisme, yang dikampanyekan oleh Bank Dunia (World Bank) dan kedua "saudara sepupunya" yaitu International Monetary Found (IMF) dan Wold Trade Organitation (WTO).
Dari sini kelihatan nyata arah konsep good governance sebetulnya diarahkan bukan untuk menyiapkan negara berkembang dan negara tertinggal untuk menyongsong kepenglolaan pemerintahan yang baik dan menumbuhkan demokratisasi, akan tetapi sebagai instrumen ekonomi kapitalis. Maka jawaban yang saya berikan atas pertanyaan utama di awal tadi adalah benar bila sebenarnya Good geovernance mengandung muatan negative dari Negara maju dan kongsi pasarnya terhadap Negara berkembang (seperti Indonesia). Sekali lagi saya tegaskan bahwa analisis ini menurut saya cukup memiliki landasan, yaitu bahwa kelahiran dan keberadaan fungsi governance sebenarnya adalah sebagai perangkat dan digunakan dalam dunia usaha (korporat). Konsep itu muncul karena desakan untuk menyusun sebuah konsep untuk menciptakan pengendalian (bukan sekedar pengawasan) yang melekat (built in) kepada korporasi dan manajer profesionalnya. Konsepnya adalah pengelolaan usaha harus benar-benar memberikan manfaat kepada pemiliknya.
Pada akhir tahun 1980-an terjadi proses pembelajaran dan diadop dalam kegiatan sektor publik. Salah satu buku yang menjadi rujukan bagi setiap manajer sektor publik adalah karangan David Osborne dan Ted Gaebler dengan judul Reinventing Government : How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Bersamaan dengan itu konsep Good Governance menjadi populer dan lembaga-lembaga dunia seperti PBB, bank Dunia dan IMF meletakkannya sebagai kriteria untuk memberikan penilaian sebagai negara "baik' dan "berhasil dalam pembangunan", bahkan dijadikan "semacam" kriteria untuk memperoleh bantuan optimal.


Referensi:
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,2006. Good Governance dan Kapitalisme. http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=104
Tanjungs,2008. Memaknai “Demokrasi” ala Good Governance dan paham Neo-liberal dalam Governance.http://Tanjungs.blogspot.com